Senin, 24 November 2008

Jumat, 21 November 2008

Jadi Ayah yang Baik




Buah hati kita, mereka begitu mendamba perhatian dan kehadiran kita. Namun mereka tak pandai merangkai kata untuk mengungkap cinta yang besar untuk kita, orangtua. Mereka juga tidak mengerti cara membisikkan rasa rindunya.
Kalau Anda seorang ayah pasti sering mendengar kalimat-kalimat berikut ini: “Ayah, aku sudah mandi”, ”Aku sudah belajar lho, Pa,”, "Hm, apa aku boleh ikut Abi pergi?” atau, "kalau Bapak pulang, bawakan aku es krim ya?”. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah respon kita saat itu? Apakah tanggapan kita seindah binar mata mereka? Apakah sikap kita semanis senyum mereka? Apakah jawaban kita sebesar harapan mereka?
Sungguh, anak-anak kita itu memerlukan senyum gagah kita. Mereka juga membutuhkan belaian sayang kita. Buah cinta kita itu selalu merindu dekapan mesra kita.
Yakinlah Anda bahwa tutur kata manis kita amat berarti bagi hatinya. Oleh-oleh yang kita hadiahkan begitu bermakna bagi jiwa mereka. Ketika kita mengajak mereka bepergian, rasa bangga memenuhi ruang-ruang kalbunya.
Bagi anak-anak, kita para ayah adalah pahlawan. Menurut mereka kita adalah sosok gagah yang menentramkan hati mereka. Buah hati kita itu amat bangga terhadap keperkasaan kita. Mereka begitu mendamba perhatian dan kehadiran kita. Namun mereka tak pandai merangkai kata untuk mengungkapnya.
Mereka mencintai kita para ayah dengan bahasa yang sering tak mampu kita mengerti. Mereka menyayangi kita dengan gaya yang sering tak bisa kita pahami. Karena itu kita sering tak menyadari bahwa ada makhluk-makhluk kecil yang begitu mencintai dan membutuhkan kita.

Apakah ini yang pernah dan masih kita lakukan?
1. Saat mereka mendekat, kita sering merasa terusik.
2. Ketika mereka mengajak bicara, kita sering merasa terganggu.
3. Waktu mereka bertanya, sering hati kita merasa tak nyaman.
4. Tangisan mereka seperti suara petir bagi telinga kita.
5. Teriakan mereka bagai badai yang menerjang jiwa kita.

Padahal seperti itulah cara anak-anak mencintai kita. Begitulah cara mereka menyayangi kita. Dengan cara seperti itulah mereka ingin menyampaikan bahwa mereka amat membutuhkan kita. Hanya cara seperti itulah yang mereka mengerti untuk menyentuh cinta kita.
Boleh jadi kita belum mampu menjadi ayah yang sempurna untuk anak-anak kita. Saat mereka menangis kita malah membentaknya. Ketika mereka bertanya kita tidak menggubrisnya. Waktu mereka belajar, kita tidak ada di sisi mereka. Mereka sakit tanpa ada kita di sisinya. Mereka sedih tanpa ada yang menghiburnya. Mereka jarang kita belai. Mereka jarang kita cium. Kadang pekerjaan kita membuat kita tak menyadari bahwa ada yang menanti-nanti kedatangan kita hingga tertidur di depan pintu.
Sudah tiba saatnya bagi kita para ayah untuk mengerti bahasa cinta anak-anak kita. Kita harus memahami gaya mereka dalam mencintai kita. Dengan demikian kita bisa menjadi seperti yang mereka pinta. Kita mesti berupaya menjadi seperti yang mereka harapkan. Kita harus menjadi pendengar yang menyenangkan saat mereka berbicara. Ketika mereka mendekati kita sehasta, kita mendekati mereka sedepa. Sewaktu mereka menangis, kita akan mendekapnya dengan penuh cinta. Kita juga tak akan pernah lelah tuk berbisik mesra, ”Nak, ayah mencintaimu”.***

Sudahkah aku jadi ayah yang baik, cerita di atas membuat aku harus bertanya seperti itu?
Aku memang punya kebiasaan buruk, setiap malam aku memang sulit tidur lebih cepat. Jadi selalu bangun kesiangan, kecuali punya kegiatan yang mengharuskan aku bangun pagi. Setiap pagi hari, bidadari kecilku Senja pasti sudah bangun. Kebiasaan pertamanya adalah merengek-rengek manja. Rengekan tersebut kadang memang membuat tidurku terganggu, usai merengek biasanya ia sering bermanja dengan ku, bahkan kadang jahil menarik pipi atau pun menjambak rambutku dengan jari-jari kecilnya. Sebelum aku terbangun, senja akan terus melakukan kejahilannya. Senja memang belum bisa ngomong, setiap kali melihat mataku terbuka ia langsung nyerocos dengan bahasa asingnya sambil menunjuk pintu kamar, mungkin ia minta diajak bermain keluar.
Karena mata masih ngantuk, biasanya aku bawa keluar langsung kuberikan pada mamanya yang menyiapkan sarapan di dapur. Meski kadang senja menangis untuk tetap aku gendong, aku biasanya langsung ke kamar meneruskan tidur.
Mungkin masih kecil, jadi setiap kali aku sudah bangun dari tidur yang tersambung tadi, Senja tetap akan mengejar aku dan minta diajak main. Tak ada diingatnya sikap cuek ayahnya pagi tadi, tak ada dendam di matanya.
Bahkan dengan ketawa kecil dan renyah, Senja memamerkan kepandaian barunya berdiri tanpa dibantu lagi. Meski kakinya masih bergetar karena menahan berat tubuhnya, Senja tetap bangga dengan kepandaian barunya itu.
Keriangan Senja membuat aku merasa berdosa karena cuek padanya pagi tadi. Tapi papa janji nak, papa akan berusaha tetap jadi papa yang hebat bagi senja. Jangan berhenti bangunkan papa tiap pagi ya...